MERINDUKAN KERAMAIAN
Saturday, February 28, 2015
Add Comment
Bilamana penat-penat telah kian merapat di tepi-tepi kota
Mentari hanyalah saksi-saksi yang bersembunyi dikala malam
sunyi
Awan membisu, tatkala tahta-tahta langit direnggut rembulan
Bintang-bintang hanyalah penghias wajah malam yang kusam
Dimana bongkahan palu yang selalu mengetuk-ngetuk pinta ?
Tak terdengar lagi gemanya hingga sepasang telinga telah
membuta
Apakah sepasang mata telah tuli ketika takmendengar rintik
hujan ?
Padahal angin berhembus meruntuhkan tembok-tembok putih
Sepasang mata tak cukup menangkap getaran getaran suara
Haruskah ada pinta pada Yang Maha Esa dalam desas-desus do’a
?
Sementara suara-suara dipenjarakan dalam gua
Lantunan suara halilintar tak mampu menembus tipisnya kain
kafan
Kain kafan yang membungkus mutiara kata kata
Ataukah kain kafan yang menutup mata-mata dari indahnya
cahaya.
Bebatuan hitam masih belum beranjak pergi dari mulut gua
Menghadang setiap kata-kata yang akan menggema
Sepi . . .sepi . . .
sepi . . . menyepi ranah ini
Terbebas dari suara-suara yang mencoba menjelma
Menjelma menjadi malaikat-malaikat yang bersayap
Namun sayap sayapnya selalu terikat batas-batas dunia
Kebebasan adalah dambaan setiap insan
Namun kesepian mengusik kebebasan-kebebasan suara pikaran
Menyudutkan pada batas-batas malam yang sunyi..
Sunyi . . .sunyi . . . sunyi . . . hening bumi ini
Dimana Kerinduan . . . ? Dimana Keramaian . . . ?
Dimana harus merindukan keramaian ?
Tangerang, Februari 2015
0 Response to "MERINDUKAN KERAMAIAN"
Post a Comment