Saatnya Berpisah (Cerita Pendek)
Ridwan masih saja termenung
di depan pintu kamar kosnya. Yang sudah ia tempati hampir enam tahun. Bajunya
dibasahi oleh keringat, akibat panasanya cuaca Kota Surabaya saat itu ditambah
lagi ia baru mengangkat beberapa dus berisi buku yang akan ia kirimkan ke
kampung halamannya. Rasanya hampir tidak percaya bahwa ia akan segera
meninggalkan kota yang banyak menyimpan cerita ini. Saksi bisu betapa keras
hidupnya untuk menggapai gelar sarjana.
Sebenarnya
dia telah diwisuda semenjak enam bulan yang lalu, tapi tak terbesitpun dalam
benaknya untuk pulang ke kampung halaman. Ia risih jika harus menjawab
pertanyaan tetangganya tentang pekerjaannya setelah lulus kuliah. Apalagi beberapa
teman dekatnya semasa SD sampai dengan SMA yang tidak kuliah sudah memiliki
pekerjaan yang jelas. Sementara ia masih ke sana, ke mari mengirimkan surat
lamaran kerja. Terhitung sudah hamper 45 perusahaan yang ia kirimi CV dan
Ijazahnya, baik melalui e-mail ataupun datang langsung.
Selama enam bulan pula uang transferan dari
orang tuanya berhenti pula. Kedua orang tuanya beranggapan bahwa jika Ridwan
tidak dikirimi uang bulanan maka ia akan segera pulang. Mereka ingin anaknya
meneruskan untuk menggarap lahan pertanian yang dimilikinya. Pilihan jurusan
yang menjadikan Ridwan sebagai seorang sarjana pun atas saran kedua orang
tuanya. Namun harapan orang tuanya bertepuk sebelah tangan, Ridwan masih tetap
betah tinggal di Surabaya. Meskipun uang bulanannya berhenti ia masih memiliki
tabungan dan juga gaji dari ia bekerja menjadi guru privat.
“Teng
Tilung Teng Tilung” bunyi yang keluar dari HPnya membuyarkan lamunannya.
Ridwan
kaget, dan langsung melihatnya, ternyata sudah jam 13:00 WIB dan itu merupakan
alarm mengenai keberangkatan keretanya. Ia memang menyalakan alarm sejam
sebelum keberangkatan keretanya. Bergegas ia langsung menuju kamar mandi. Namun
sialnya kamar dua kamar mandi yang ada di kosnya penuh semua, terpaksa ia harus
sedikit sabar. Setelah menunggu sekitar 10 menit akhirnya keluar juga yang ada
di dalam kamar mandi. Langsung ia bergegas masuk dan mandi. Selesai mandi ia
langsung berdandan rapid an bersiap berangkat ke Stasiun Pasar Turi.
Ia menekan
kunci layar HPnya dan mencoba membuka aplikasi ojek online. Segera ia memesan
ojek untuk mengantarnya ke Stasiun. Selang tujuh menit ojek yang ia pesan
datang. Jaketnya terlihat kusam dan lama.
Suaranya
terdengar pelan dari dalam kaca helm, “benar ini dengan pak Ridwan?”
Sebenarnya
ia sedang terburu-buru akan tetapi melihat suaranya yang pelan aku menjawab
dengan sopan juga “Iya Pak”.
“Tujuan Stasiun
Pasar Turi ya Pak?” tanyanya kembali seraya menyerahkan helm kepadanya.
“Iya Pak”,
jawab Ridwan seraya memakai helm dan naik ke atas motor.
Mereka
berduapun bergegas meninggalkan halaman kos Ridwan dan menuju ke Stasiun. Mata
Ridwan melirik ke arah jam tangan yang dikenakannya. Saat itu sudah menunjukkan
pukul 13:40, artinya ia harus sampai stasiun kurang dari dua puluh menit. Dalam
hatinya was-was karena ia takut kalau-kalau ketinggalan kereta.
Alhamdulillah
sepanjang perjalanan cukup lancar, Ridwan masih masih optimis kalau bisa sampai
di stasiun sebelum kereta berangkat. Namun tiba-iba di tengah jalan bapaknya
berkata “Mas, saya ijin isi bensin dulu ya, ini bensinnya sudah hampir habis.” Sejenak
Ridwan membisu, dalam batinyya berkata bisa-bisanya harus ada acara isi bensin
dulu di saat-saat mepet seperti ini. Namun tidak ada kata lain selai mengucap
kata “Iya”.
Sang
ojekpun langsung membelokkan motornya ke arah SPBU. Saat itu SPBU lagi antri
juga. “SIAL”, batin Ridwan dalam hati. Tukang ojekpun segera mengantri
sedangkan Ridwan menunggu tepat di depan jalan keluar.
Sepuluh
menit berlalu, dan tukang ojekpun menghampinya.
“Maaf mas
ya, lama” Kata tukan ojek.
“Iya pak
gak papa” Jawabnya. Padahal sebenarnya dalam hatinya sedang risau dan was-was
takut ketinggalan kereta.
Langsung
saja ia naik ke atas motor dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Stasiun,
Reflek matanya memandang lagi kea rah jam tangan yang dikenakannya. Jam sudah
menunjukkan pukul 13:55 WIB, dan artinya ia pasti ketinggalan kereta. Karena
dari SPBU ini untuk sampai ke Stasiun biasanya memerlukan waktu sepuluh menit. Belum
lagi ditambah apabila terkena macet di lampu merah dekat Tugu Pahlawan, pasti
akan lebih lama.
Alhasil ia
harus terjebak lampu merah di dekat Tugu Pahlawan, dalam batinnya hanya bisa
pasrah saja. Andaikan jika memang ia tertinggal kereta masih ada uang seratus
ribu di dalam dompetnya. Masih cukup untuk memesan tiket bus ke arah Semarang. Jadi
ia masih tenang-tenang saja. Tapi ada juga perasaan menyesal dalam benaknya
mengapa harus ada acara melamun segala sebelum berangkat tadi. Andaikan ia bisa
bersiap lebih awal pasti ia takkan terlambat.
“Mas sudah
sampai” suara tukang ojek menyadarkannya dari lamunannya.
“Iya pak”
Jawabnya lirih. Ia turun dan menyerahkan helm yang dikenakannya kepada tukang
ojek.
“Jangan
lupa bintang limanya ya pak” kata tukang ojek.
“Iya pak”
Ridawan menjwab bapaknya. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih.
Lalu ia
bergegas menuju pintu masuk ruang tunggu, dan berharap bahwa keretanya akan
sedikit terlambat. Matanya langsung tertuju pada papan pengumuman yang ada di
depan stasiun. Di situ tertera info bahwa kereta yang akan ia tumpangi untuk
pulang kampung masih belum berangkat. Seakan tak percaya ia mencoba bertanya
kepada pengamanan yang berjaga di depan pintu masuk. Benar saja kereta yangakan
ia tumpangi untuk ke Semarang memang belum berangkat. “Alhamdulillah” ucapnya
dalam hati.
Segera ia bergegas untuk check-in dan masuk ke dlam kereta, dan lega sekali rasanya. Setelah sampai di dalam kereta tak lupa ia memberikan bintang lima kepada tukang ojek yang telah mengantarnya ke stasiun, serta memberikan sedikit uang tips. Tapi ada rasa yang lebih membahagiakan daripada rasa yang saat ini sedang ia rasakan. Yakni ia memilika jawaban atas sebuah pertanyaan, "sekarang bekerja di mana?".
***
0 Response to "Saatnya Berpisah (Cerita Pendek)"
Post a Comment